Selamat datang|benvenuto|welcome|ようこそ|환영|欢迎|સ્વાગત|ยินดีต้อนรับ|ترحيب|স্বাগত|sugeng rawuh

Senin, 30 Januari 2012

WTO

World Trade Organization (WTO)
World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995 dan berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian, yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar Negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam melakukan kegiatannya.
Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan “Uruguay Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). WTO saat ini terdiri atas 153 negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan Negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development Agenda” (DDA) yang dimulai tahun 2001.
Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan consensus oleh seluruh Negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subside yang meliputi dewa, komite dan sub-komite, yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota.
Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas “most-favored-nation principle” (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara Negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap Negara anggota.
Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan Negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi Negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access – NAMA), perdagangan sektor jasa dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestic dan tariff produk pertanian, menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial  ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi Negara maju, pemberian subsidi domestic mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka.
Proses perundingan DDA tidak berjalan mulus. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara Negara anggota terkait isu-isu sensitive, khususnya pertanian dan NAMA. Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan “suspension” pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007. Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-si single-undertaking seperti isu jasa, kekayaan intelektual, pembangunan dan penyelesaian sengketa. Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan.
KM-7 WTO yang dilaksanakan pada bulan November 2009 menginstruksikan negara anggota untuk segera menyelesaikan putaran perundingan sebelum akhir tahun 2010. Dalam hal ini, Negara anggota memperbaharui komitmen untuk melanjutkan perundingan secara aktif dan konstruktif, serta mewujudkan komitmen politis ke dalam aksi-aksi nyata.
Dalam pidato Dirjen WTO, Pascal Lamy, pada tanggal 22 Maret 2011 dalam Annual Session of the Parliamentary Conference mengatakan bahwa WTO harus secepatnya menyelesaikan Putaran Doha. Perundingan Putaran Doha yang telah diluncurkan sejak tahun 2001 sudah memasuki fase kritis yang disebut juga dengan “last window of opportunity”. Beliau menekankan bahwa rules based component adalah sama pentingnya dengan elemen market access, walaupun yang pertama disebut kurang mendapat perhatian media. Hal ini bisa disimpulkan dari kasus-kasus sengketa dagang yang dibawa ke WTO rata-rata berdasarkan pada rules of trade bukan pada komitmen subsidi atau tarif.
Sebagai upaya untuk menyelesaikan Putaran Doha, sudah ditentukan langkah-langkah strategis, yakni mengarahkan Ketua untuk masing-masing grup negosiasi (Trade Negotiations Committee/TNC) untuk mengetahui level perkembangan yang telah diperoleh dengan cara melakukan tabulasi draft teks kompromi. Hal ini diharapkan akan terjadi sekitar akhir April. Informasi level perkembangan ini memiliki 2 tujuan dasar yakni memberikan masukan mengeni jurang pemisah yang harus diselesaikan pada akhir Perundingan Doha dan juga sebagai alat untuk mendorong fase negosiasi Doha menuju fase yang lebih horizontal atau sejajar.
Dirjen WTO, Pascal Lamy, mengulangi komitmennya untuk mendorong teks final negosiasi perdagangan Putaran Doha (seperti dilaporkan pada WTD pada tanggal 28 Maret 2011). Beliau mengatakan bahwa diskusi sektoral terkait tarif barang industri bisa menjadi pintu untuk menyelesaikan Putaran Doha. Namun dengan perbedaan substantif diantara negara-negara anggota, beberapa anggota yakni Argentina, Australia, Amerika Serikat, Mauritius, Norwegia, Brazil, Kanada, India dan Afrika Selatan mengusulkan kepada Dirjen WTO untuk tidak mengeluarkan teks dahulu.
Dalam pertemuan informal Trade Negotiations Committee pada tanggal 29 Maret 2011, Dirjen WTO menyampaikan bahwa kemajuan dalam perundingan sektoral Non Agricultural Market Access (NAMA) telah menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, Dirjen WTO telah berkomitmen mulai tanggal 4 April 2011 akan mengadakan konsultasi dengan beberapa negara anggota WTO untuk memahami besarnya jurang pemisah di dalam akses pasar NAMA. Setelah konsultasi ini selesai dilaksanakan, Beliau berniat melaporkan hasilnya di hadapan seluruh anggota WTO.
Indonesia di WTO
Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan koalisi Negara berkembang seperti G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaian development objectives dari DDA.
Indonesia selaku coordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar / Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri, baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa, demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi Negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi Negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian dan anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar